Arun Gandhi : Sebuah Warisan Menghukum tanpa Kekerasan

Tulisan ini akan diawali dengan pertanyaan, “mengapa menulis sejarah? Apa menariknya mempelajari dan memahami sejarah?” dan akan diakhiri dengan sebuah pernyataan dari seorang anak dalam tokoh cerita yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi seorang ayah.

Berangkat dari pertanyaan di atas, maka akan digunakan beberapa bait pernyataan didalam book chapter sebuah buku yang berjudul “History : what and why? Ancient, modern, and postmodern perspective” karya seorang sejarawan bernama Beverley Southgate. Dalam buku tersebut, Southgate mencoba mendeskripsikan bagaimana pentingnya manusia yang hidup di era sekarang untuk mengetahui sejarah yang telah hidup mendahuluinya. Pada bab ketiga buku tersebut, Southgate sangat menitikberatkan pada sebuah pertanyaan “mengapa sejarah perlu dituliskan?” dan “mengapa sejarah perlu dipahami lebih dari hanya sebuah peristiwa masa lalu?”. Menggunakan perspektif lama untuk menjawab pertanyaan tersebut, Southgate menuliskan beberapa analisis bahwa sejarah dapat bernilai sebagai sebuah “Interesting, Entertainment, Moral Teaching : Truth & Examples, Religious Teaching, Politics and Ideology”.

Meski terjadi tidak sedikit kasus penolakan-penolakan pada cerita atau peristiwa lampau, manusia yang hidup di era ini dan yang akan datang bisa dipastikan tidak akan terpisah jauh dari sejarah masa lalunya baik dalam cakupan makro sebagai sejarah bangsa maupun dalam cakupan mikro setidaknya sebagai sejarah yang berasal dari pendahulu keluarga kecilnya. Sejarah sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan seperti Perang Troya sudah mulai diceritakan secara lisan jauh sebelum penyair Homer berkomitmen untuk menulis, bahkan kemudian sejarah yang menyenangkan dimaknai sebagai sebuah obat penyembuh yang paling ampuh. Pada abad ke-17 Pierre Le Moyne menuliskan sebuah sejarah yang penuh dengan pesona, di mana kemudian sejarah bertransformasi menjadi sebuah jalan keluar bagi banyak masalah manusia “yang sedih kehilangan rasa sedihnya dan orang yang sakit sembuh dari rasa sakitnya”. Dalam kasus ini, ia mengambil contoh Raja Spanyol Alfonso yang kemudian sembuh dari sakitnya setelah berkali kali diceritakan sejarah Romawi yang mengalihkan pikirannya dari masalah-masalah yang ada saat ini.

(Sumber Gambar : ctxt.es)

Tak kalah penting kemudian, sejarah yang syarat akan ajaran moral mengenai kebenaran dan contoh kehidupan harusnya juga perlu dimaknai sebagai obat bagi banyaknya permasalahan dan kesalahan-kesalahan manusia di era yang paling baru ini. Bukan hanya ratusan, bahkan ribuan ataupun jutaan kisah lampau yang berisikan ajaran moral untuk direfleksikan sebagai sebuah upaya perbaikan kehidupan manusia di masa yang akan datang. Banyaknya isu kekerasan dan HAM akhir-akhir ini, tentu dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan manusia dalam merepresentasikan nilai sejarah yang penuh ajaran moral ke dalam kehidupan di era ini. Adalah Mahatma Gandhi dengan gagasan filosofi “non-violence”, sebuah upaya perjuangan kemerdekaan tanpa kekerasan yang akhirnya menjadi sebuah warisan bagi satu generasi Gandhi ke generasi Gandhi berikutnya. Penekanan dalam cerita sejarah kali ini adalah bagaimana kemudian Mahatma Gandhi mengajarkan filosofi “tanpa kekerasan” pada anak cucunya. Dan mengutip kisah inspiratif dari Arun Gandhi, merupakan upaya yang akan cukup relevan untuk mengungkap tujuan penulisan sebagai langkah pembelajaran.

(Sumber Gambar : lehigh.edu)

Layaknya bayi pada umumnya, Mohandas Karamchand Gandhi terlahir ke dunia tanpa diiringi peristiwa-peristiwa istimewa yang menyertainya. Sebuah peristiwa yang harusnya menjadi suatu hal yang dianggap biasa, ketika Gandhi dewasa akan menjadi seorang tokoh yang sangat dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia. Peletakan filosofi tanpa kekerasan (non violence) yang ia terapkan pada perjuangan kemerdekaan India, kemudian membawa Mohandas Karamchand Gandhi menjadi lebih dikenal sebagai “Mahatma” atau “Jiwa Hebat” Gandhi. Tauladan Gandhi, terus berlanjut dan akhirnya sampai pada cucunya yang Bernama Arun Gandhi.

Arun Gandhi lahir pada 1934, di Durban Afrika Selatan. Arun dilahirkan dari pasangan suami istri yaitu dengan ibu Bernama Sushila dan ayah bernama Manilal yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara keturunan Mahatma Gandhi. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Carmella B’Hahn, Arun menuturkan bahwa ketika hidup di Afrika ayah dan ibunya secara sukarela bersedia untuk hidup dalam kekurangan dan mengabdikan dirinya demi terciptanya suatu kehidupan tanpa kekerasan serta terjadinya sebuah perubahan politik di Afrika Selatan yang telah dimulai oleh kakeknya pada 1893.

(Sumber Gambar : theguardian.com)

Kemudian dalam sebuah memoarnya yang berjudul “Legacy of Love : My Education in the Path of Nonviolence”, dengan jelas Arun mengingat kehidupannya di Asrham, mengenai kepatuhan orang tuanya terhadap prinsip-prinsip tanpa kekerasan yang sejak lama digagas oleh Mahatma Gandhi. Secara jelas Arun juga mengingat, bagaimana keterlibatan ayahnya pada perlawanan tanpa kekerasan terhadap permasalahan apartheid yang pada akhirnya berujung pada ditetapkan sanksi hukuman 14 tahun penjara bagi ayahnya.

Kerasnya kehidupan keluarganya selama di Durban, tidak hanya dialami oleh ayahnya tapi juga dirasakan oleh Arun Gandhi. Sebagaimana kemudian Arun Gandhi, menceritakan peristiwa pemukulan yang dialaminya pada usia sepuluh tahun. Peristiwa pemukulan tersebut dilakukan oleh dua kelompok pemuda yang berkulit putih dan kemudian kelompok pemuda yang berkulit gelap. Isu ras merupakan permasalahan pokok dalam kasus pemukulan yang dialami oleh Arun kecil. Semenjak kejadian tersebut, Arun Gandhi menyimpan dendam yang cukup besar dan orang tuanya yang mengetahui niat buruk Arun Gandhi lantas mengirimnya kepada kakeknya yaitu Mahatma Gandhi di India. Pada masa remaja, terdapat dua peristiwa penting yang melibatkan kakek dan ayahnya. Dua peristiwa penting menyayat hati yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan memberikan pemahaman lebih dalam bagi Arun Gandhi mengenai filosofi “tanpa kekerasan”.

(Sumber Gambar : thextraordinary.org)

Sebatang Pensil Kayu

Peristiwa pertama adalah ketika Arun Gandhi hidup bersama dengan kakeknya yaitu Mahatma Gandhi. Pada peristiwa ini sangat terlihat bagaimana upaya Mahatma Gandhi untuk memberikan penekanan pada cucunya mengenai pentingnya memahami dan menghindari kekerasan pasif. Gandhi tua berusaha keras untuk mengklarifikasi perbedaan antara kekerasan aktif dan pasif, yaitu sebuah upaya untuk membantu cucunya melihat bagaimana banyak tindakan pasif satu manusia yang dapat berfungsi sebagai bahan bakar untuk kekerasan aktif dari manusia lainnya. Peristiwa ini bermula ketika kakek dan cucunya hidup bersama di Pune, pada saat itu Arun sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, ditengah perjalanan pulangnya ia melemparkan sebatang pensil miliknya ke semak-semak. Sehingga ketika dia tiba di rumah, ia memberi tahu kakeknya bahwa dia membutuhkan pensil baru. Mendengar permintaan Arun tersebut, Mahatma Gandhi justru mendesak cucunya dengan beberapa pertanyaan, “dimana pensilnya?”, “kenapa dia membuangnya?”, “apakah tidak lagi menulis?” hingga Arun mengakui telah membuangnya. Lantas Mahatma Gandhi memerintah cucunya untuk kembali dan menemukannya. Perintah kakeknya justru mendapat protes dari Arun, ia mengatakan bahwa lokasinya jauh dari rumah, namun Mahatma Gandhi tak menyurutkan niatnya dan ia malah mengatakan bahwa Arun sebaiknya cepat memulai pencarian pensil tersebut. Karena hari mulai gelap, Mahatma Gandhi memberi cucunya senter.

Setelah mencari di semak-semak pinggir jalan sekitar dua jam, Arun menemukan potongan pensil yang ia buang dan segera kembali ke rumah. Setibanya dirumah kakeknya kemudian meminta Arun Gandhi untuk duduk, dan pada momen itu Arun mendapatkan pelajaran penting tentang kekerasan pasif dari kakeknya. Mahatma Gandhi banyak bercerita tentang mengabaikan dan menyia-nyiakan sumber daya alam, yang merupakan kekerasan terhadap alam. Lebih jauh Gandhi tua mengatakan bahwa, pada produksi pensil membutuhkan tenaga kerja manusia dan membuang pensil tersebut berarti sama saja melakukan tindak kekerasan terhadap manusia. Sambung Gandhi tua, membuang-buang dan menimbun sumber daya, lalu mengalihkan sumber daya tersebut dari orang-orang yang memiliki kekurangan, maka akan menimbulkan siklus baru pada upaya kekerasan. Dimana Gandhi tua memulainya pada, kemiskinan dapat menyebabkan kebencian, kebencian dapat menyebabkan kemarahan, dan kemarahan dapat mengekspresikan dirinya dalam kekerasan fisik.

Terakhir Mahatma Gandhi berpesan “Selalu ingat bahwa menyia-nyiakan sesuatu adalah kekerasan, dan setiap tindakan membuat perbedaan di suatu tempat di dunia”, dan “Tidak ada tindakan kecil demi perdamaian yang dapat diabaikan”. Lantas Arun kemudian merenungkan, lalu segera menyadari bahwa maksud yang ingin disampaikan kakeknya adalah “jika kita menghilangkan kekerasan pasif dalam diri kita sendiri, dan berusaha untuk mempengaruhi orang lain di mana pun kita bisa, kita akan menghasilkan penurunan yang cukup besar dalam jumlah kekerasan yang berlaku di masyarakat kita saat ini”

Dua Film John Wayne

Kemudian peristiwa yang kedua adalah pelajaran yang tak terhapuskan dari pengasuhan orang tua dengan menggunakan prinsip “tanpa kekerasan”. Peristiwa yang melibatkan ayahnya tersebut, terjadi ketika Arun berusia 17 tahun. Saat itu ayahnya meminta Arun mengantarnya ke kota untuk menghadiri suatu konferensi. Arun sangat senang karena ditempat tinggalnya yang jauh dari keramaian, tidak bisa ia dapatkan hiburan-hiburan seperti yang ada di pusat kota. Sembari menunggu ayahnya menyelesaikan konferensi, Arun bebas untuk menghabiskan waktunya untuk berkeliling di kota. Namun pada saat itu, ayah Arun juga membebankan Arun sebuah perintah untuk membawa mobilnya untuk mendapatkan servis rutin di bengkel. Ayahnya juga berpesan bahwa, Arun harus menjemputnya pada pukul 17:00 sore.

Setelah menyetujui perintah ayahnya, Arun kemudian memutuskan untuk pergi ke bioskop lokal, dan betapa senangnya ia ketika mengetahui bioskop tersebut menampilkan dua film John Wayne. Setelah film pertama selesai, Arun merasa masih terlalu cepat untuk meninggalkan bioskop karna menurutnya ia masih memiliki waktu untuk bisa menonton film kedua. Ditengah asyiknya menonton, Arun kemudian terkejut ketika mengetahui waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul 17:00. Maka bergegaslah Arun mengambil mobil di bengkel, dan akhirnya dia datang terlambat satu jam dari waktu yang telah ditetapkan ayahnya. Kemudian ayahnya bertanya mengapa dia terlambat, namun karena terlalu malu untuk mengakui bahwa dia telah menonton film barat yang penuh kekerasan, Arun lalu berbohong dan mengatakan bahwa mobilnya tidak siap tepat waktu. Namun Manilal mengetahui jika anaknya sedang berbohong, karena tanpa sepengetahuan Arun ia sudah menelepon bengkel tersebut dan karena itu ia tahu bahwa mobilnya sudah siap tepat waktu. Mengetahui kebohongan anaknya, lalu Manilal mengatakan kepada Arun bahwa sebagai seorang ayah ia pasti telah gagal, ia mengatakan bagaimana bisa putranya harus menghindari kebenaran?.

Dengan bekal filosofi nonviolent dari ayahnya, Manilal konsisten dan akan melakukan penebusan dosa tanpa memberikan hukuman kekerasan terhadap putranya. Manilal berjalan sejauh 18 mil menuju rumahnya, dengan menggunakan sepatu beralas keras, melintasi beberapa pedesaan, dan dalam keadaan kegelapan. Tidak ada yang bisa dikatakan Arun untuk meyakinkan ayahnya masuk ke dalam mobil, maka dia terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sangat lambat dan menyaksikan punggung ayahnya dalam perjalanan pulang, itu sangat menyiksanya sepanjang waktu.

(Sumber Gambar : tinaquizon.files.wordpress.com)

Bertolak dari dua peristiwa penting dalam hidupnya ini, kemudian selama tahun-tahun membentuk Arun Gandhi dan membantu memperjelas upayanya dalam melanjutkan apa yang telah dilakukan, baik oleh kakek maupun ayahnya. Memahami lebih dalam mengenai pentingnya meminimalisir kekerasan, membuat Arun Gandhi menerima tantangan untuk melanjutkan warisan Gandhi, memegang erat filosofi tanpa kekerasan yang diwarisi oleh kakeknya.

Sering kali saya berpikir mengenai peristiwa ini dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai “tanpa kekerasan”?, saya kira tidak. Penebusan dosa yang dilakukan ayah, membuat saya merasa cukup menyesal untuk berjanji tidak akan pernah berbohong lagi. Saya belajar pelajaran seumur hidup darinya, pelajaran dalam mengasuh anak tanpa kekerasan yang tidak akan pernah saya lupakanDr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi.

(Sumber Gambar : sanantonioreport.org)

Referensi

Tinggalkan komentar