Suku Aborigin : Cerita Suku Asli Yang Merasa Asing di Tanahnya Sendiri

Oleh Made Dharme.

Australia merupakan Negara yang memiliki letak georafis berdekatan dengan Negara-negara di Pasifik Selatan dan Asia Tenggara, sehingga letak geografis dengan luas 7,74 juta kilometer persegi yang juga disebut sebagaii pulau terbesar dan sekaligus benua terkecil di dunia, dengan berada di lingkungan Negara-negara yang berbeda secara sosial, kultural, ras, etnis dan adat kebudayaan dengan Australia (Rahayu, 2015; https://elib.unikom.ac.id).

(Sumber Gambar : welcometocountry.org)

Australia adalah sama merdekanya seperti negara lain di dunia baik secara politis, sosial, maupun ekonomi. Kami tidak menerima ataupun melayani sedikit pun instruksi dari Inggris Raya atau dari kekuasaan lainnya. Namun, kami bukan ā€œanak kemarin soreā€ yang menganggap bahwa, untuk mencapai segala tujuan, kami sama sekali tidak memerlukan yang lain. Kesetian kami kepada Ratu bersama Kanada, Selandia Baru, negara-negara Hindia Barat, dan beberapa negara lainnya bukan hanya merupakan imbauan emosi kami tetapi juga rasa persaudaraan kami dan menjadikan Negara Persemakmuran sesuatu yang berarti, khususnya di masa krisis dunia (Grolier Internasional, 2002: 112)

Sejak awal kedatangan bangsa Eropa sampai terjadinya perebutan wilayah Australia antara bangsa kulit putih dengan kaum Aborigin, masyarakat Aborigin selalu mengalami diskriminasi, terutama karena mereka sama sekali tidak dianggap sebagai masyarakat yang memiliki kuasa atas wilayah Australia. Hal (diskriminasi) ini bahkan terus berlanjut hingga terbentuknya konstitusi Australia dan Australia dinyatakan sebagai negara federasi, dimana pada saat itu enam koloni Australia sepakat untuk bersatu di bawah payung negara persemakmuran dalam bentuk federasi (Hartati & Kabo, 2018).

Eksistensi suku Aborigin dan Torres Strait Islander sebagai penduduk asli Benua Australia, telah sejak lama diketahui bernasib kurang baik.Sejak awal ketika negara ini terkonstruksi oleh koloni-koloni Inggris, relasi yang terjalin antara penduduk pendatang dengan penduduk asli memang senantiasa mengalami dinamika.Relasi tersebut kerap kali menempatkan masyarakat asli dalam posisi yang terabaikan, akibat adanya diskriminasi berkepanjangan yang dilakukan oleh Bangsa Barat. Rentetan perlakuan semena-mena bahkan tindakan eksklusi yang disahkan dalam konstitusi, menjadi kenyataan pahit yang harus dirasakan oleh para penduduk asli selama beberapa dekade (Sasmithadewi & Judith, 2017).

(Sumber Gambar : themalaysianreserve.com)

Australia menyatakan bahwa mereka merupakan sebuah negara yang berdemokrasi dan tidak akan melakukan pendiskriminasian terhadap siapapun yang menjadi warga negara Australia. Namun, apabila kita melihat pada kenyataannya, konstitusi Australia sendiri masih bersifat sangat diskriminasi, khususnya kepada masyarakat suku Aborigin. Aborigin merupakan penduduk pertama yang menempati benua Australia beratus abad yang lalu. Sebenarnya, tidak hanya suku Aborigin saja, namun juga terdapat masyarakat Kepulauan Selat Torres yang merupakan masyarakat pertama yang mendiami kawasan Australia yang tersebar di pulau-pulau sekitaran Australia. Sampai pada akhirnya, kedua kaum asli pribumi Australia ini harus mengalami diskriminasi selama beratus-ratus tahun berikutnya (Hartati & Kabo, 2018).

(Sumber Gambar : www.sea.museum)

Keberhasilan Inggris melakukan eksplorasi, baik coastal exploration (eksplorasi pantai) maupun inland exploration (eksplorasi pedalaman) telah membuka pintu bagi pembukaan dan perluasan koloni.Bukan saja perluasan koloni di New South Wales dalam arti area pemukiman, tetapi juga bagi kemungkinan berdirinya koloni-koloni lain di sudut-sudut Australia. Semuanya ini meletakkan jalan bagi pendudukan seluruh daratan Australia oleh Inggris. Motif lainnya pembukaan koloni di Australia, menurut para sejarawan lainnya adalah sebagai ā€œnaval supply and maritime baseā€ hal ini dikaitkan dengan ā€œswing to the eastā€ dalam rangka peningkatan pelayaran dan perdagangan Inggris dengan Cina melalui pantai timur Australia sehubungan di sebelah Barat Australia sudah ada kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk itu pembukaan koloni di New South Wales adalah untuk menyediakan tempat persinggahan dan pangkalan pemasokan kapal-kapal Inggris yang melintasi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (http://file.upi.edu/kehidupan_awal_australia).


Bagi kaum Aborigin, kolonisasi bangsa Inggris (kulit putih) di Australia, merupakan hal dilalui dalam proses yang panjang dan kepedihan yang terasa. Setelah Inggris mendarat di Australia pada tahun 1788, suku Aborigin berjumlah 140.000 orang.Saat ini mereka berjumlah 40.000 orang. Pertemuan antara Inggris dengan suku Aborigin merupakan hal yang tak seimbang. Penduduk asli (Aborigin) terdesak, dan mengalami penurunan yang sangat dratis karena berbagai wabah penyakit serta sebagian mati terbunuh. Penduduk asli Australia selalu mengalami diskriminatif dan dipandang sebagai masyarakat status yang rendah (Utari, 1999).

(Sumber Gambar : historytoday.com)

Mayoritas orang kulit putih memiliki pemikiran rasis yang menganggap bahwa orang Aborigin tidak akan setara dengan mereka. Pemikiran rasis tersebut tidak lepas dari munculnya konsep savage yang menyatakan bahwa orang-orang Aborigin merupakan sekumpulan manusia yang masih belum beradab. Kata ā€œsavageā€ mengacu pada gambaran mental orang-orang Eropa yang liar, penyembah berhala, tidak beradab yang suka membunuh, kanibalisme dan sebagainya. Bagi orang kulit putih, orang-orang Aborigin diasumsikan sebagai orang yang liar (wild), kotor (dirty), berubah-ubah (fickle), memiliki intelijensi yang rendah (of low intelligence), curang (treacherous), kejam (murderous) dan agresif (aggressive).

Konsep tersebut kemudian semakin diperkuat dengan adanya teori Great Chain of Being yang menempatkan orang-orang Aborigin pada rantai kehidupan manusia yang paling bawah, dan sejajar dengan orang-orang negro yang dianggap memiliki hubungan darah dengan kera-kera Afrika (Reynolds 1982: 47 dalam jurnal Kartika, 2013). Akibatnya orang-orang kulit putih pun memandang rendah orang-orang Aborigin dan memperlakukan mereka layaknya hewan semacam dingo. Dingo atau warrigal, Canis lupus dingo, adalah tipe anjing liar. Dingo umumnya dideskripsikan sebagai anjing liar Australia, tetapi tidak berasal dari Australia. Dingo modern dapat ditemukan di Asia Tenggara dan di Australia, terutama di utara. Mereka memiliki ciri umum seperti serigala dan anjing. Nama dingo berasal dari bahasa Eora orang Aborigin yang merupakan penduduk asli daerah Sydney (Kartika, 2013).

(Sumber Gambar : edition.cnn.com)


Berpuluh tahun setelah Commonwealth of Australia Constitution Act 1900 disahkan menjadi konsitusi Australia, pada 1967 akhirnya muncul pembicaraan untuk mereferendum konstitusi Australia mengenai status masyarakat pribumi Australia melalui Referendum 1967 dimana prosesnya masih berlanjut sampai sekarang. Referendum merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mengubah konstitusi Australia. Masyarakat Australia bebas untuk mem-vote terhadap referendum yang diajukan apakah menerima atau menolak pengubahan terhadap konstitusi. Namun, sebelum masyarakat Australia melakukan voting, masih terdapat beberapa langkah yang harus dilalui dalam pengajuan sebuah referendum (Hartati & Kabo, 2018). Referendum 1967 inipun dinyatakan berhasil dan menjadi gerbang bagi masyarakat Aborigin untuk meraih hak-hak mereka sebagai bagian dari Australia yang direnggut sejak datanganya bangsa Eropa ke tanah Australia.Begitu pula halnya dengan kewajiban mereka. Intinya, dengan adanya Referendum 1967, masyarakat Aborigin mulai mendapatkan hal-hal yang setara apa yang seharusnya mereka dapatkan sebagai seorang warga negara resmi Australia (Australian Constitution, The Parliamentary Education Office, (jurnal on-line) hlm: 1).

(Sumber Gambar : globalcitizen.org)


Meskipun konstitusi Australia tergolong dalam konstitusi yang sangat sulit untuk diubah, namun bukan tidak mungkin konstitusi Australia tersebut tidak dapat diubah sama sekali. Sejak diberlakukannya Commonwealth of Australia Constitution Act 1900 sejak 1901 hingga sekarang,sudah ada hingga 44 referendum yang diajukan oleh pemerintah Australia. Namun, hanya ada 8 referendum yang diterima, yakni referendum 1906, 1909, 1928, 1946, 1967, dan 1977 sebanyak tiga referendum (Irving, 2004)11. Di samping itu, Australia telah melakukan referendum terhadap konstitusinya dan menghentikan kebijakan pencurian generasi dan pelanggaran hak budaya terhadap orang-orang Aborigin, namun, australia sampai saat ini belum benar-benar menerapkan konstitusi yang dapat melindungi orang-orang pribumi benua Australia. Pemerintah modern Australia tidak pernah mengakui adanya diskriminasi terhadap suku Aborigin. Akan tetapi, dalam kenyataannya diskriminasi berdasarkan warna kulit di bidang politik, agama, dan ekonomi masih tetap terasa hingga kini.Masyarakat kulit putih pada umumnya masih menunjukkan sikap superior terhadap orang Aborigin. Sehingga kondisi tersebut menyebabkan orang-orang Aborigin masih tetap terasingkan di tanah airnya sendiri (Joissangadji Rachmat, 2019).

Referensi

Australian Constitution, The Parliamentary Education Office, (jurnal on-line), hlm: 1. Grolier Internasional. 2002. Negara dan Bangsa. Jakarta: PT. Widyadara.

Hartati, Yulia Anna & Kabo, Aileyas. 2018. Staf. Pengakuan Indigenous People di Australia.
Jurnal Sosio Dialektika. Publikasi Ilmiah. unwahas.ac.id. Diakses pada 7 September 2019.

https://elib.unikom.ac.id.

http://file.upi/Direktori/FPIPS/JUR.PEND.SEJARAH/197101011999031_WAWAN_DARM AWAN/Kehidupan_awal_australia.pdf

Irving, Helen. 2004. Five Things to Know About the Australian Constitution. Cambridge: Cambridge University Press. Hal:109.

Joissangadji, Rachmat. 2019. Sudut Pandang Islam Terhadap Pelanggaran HAM yang terjadi di Australia. Vol. 4, No. 2. Dauliyah. FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Kusriyanti, BahariKartika. (2013). Myall Creek Massacre, 1838: Tragedi Pembantaian Terhadap Aborigin Oleh Kulit Putih di Daerah Koloni New South Wales, Australia. Edisi ke-1 volume 4. Universitas Indonesia.

Rahayu, ArvaDevi. 2015. Intervensi Australia Terhadap Instabilitas Politik di Solomon Tahun 2003-2013. Skripsi. Malang: FISIP UMM.

Sasmithadewi & Judith, Putu. 2017. Gerakan Close the Gap Coalition Campaign dalam Isu Pemenuhan Hak Kesehatan Masyarakat Asli di Australia. Skripsi. FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

Tinggalkan komentar